Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) bukan istilah asing di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Sistem yang tercermin dalam musyawarah mufakat itu pertama kali diterapkan dalam Muktamar ke-33 NU di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Rais Syuriyah PBNU, KH Ahmad Ishomudin menjelaskan, pengambilan istilah AHWA merujuk pada sejarah Islam yang terjadi di masa sahabat. AHWA merupakan sebuah sistem untuk memilih pemimpin yang pernah dilakukan pasca-wafatnya sahabat Umar bin Khattab RA.
Kiai yang kerap disapa Gus Ishom itu lebih jauh mengurai, saat Umar bin Khattab dalam keadaan sakit karena ditusuk belati oleh seorang budak Persia, ia kemudian menunjuk enam orang yang terdiri dari Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf.
“Keenam orang itulah yang kemudian menjadi badan formatur atau Ahlul Halli wal Aqdi yang bertugas untuk bermusyawarah dalam menentukan pengganti pemimpin selanjutnya,” terangnya saat bedah buku Ahlul Halli wal Aqdi karya Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur, H M Hasan Ubaidillah, Selasa sore (19/1).
Kegiatan digelar Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara Seluruh Indonesia (Aspirasi) bekerja sama dengan Fakultas Syariah IAIN Jember. Atas dasar sejarah itulah menjadi gagasan bagi NU untuk menggunakan sistem AHWA dalam memilih pemimpin NU khususnya Rais Aam dan Rais Syuriyah di berbagai tingkatan kepengurusan.
Dalam perjalanannya, tambahnya, memang sistem tersebut mendapat penolakan dari sebagian warga NU. Namun, saat ini AHWA menjadi media musyawarah yang cukup efektif diterapkan di lingkungan NU dalam menentukan pimpinan di jajaran syuriyah. Sementara itu, Ketua Umum Aspirasi Kiai Harisudin menyebutkan, bedah buku tersebut dapat memberikan kekayaan pengetahuan dalam memahami sistem AHWA di lingkungan NU.
“Di tengah-tengah dinamika perbedaan sudut pandang antartokoh-tokoh NU, kita patut bangga dengan munculnya sistem Ahlul Halli wal Aqdi sebagai bentuk kontribusi dalam bidang ilmu fiqih siyasah yang bisa diterapkan sesuai dengan native knowledge yang ada di Indonesia,” ucap pria yang juga Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember itu.
Di kesempatan yang sama, Rektor IAIN Jember, Prof H Babun Soeharto dalam sambutannya menyampaikan, sistem AHWA telah mencerminkan demokrasi yang sebenarnya, yaitu pada Pancasila dalam sila keempat.
“Dalam sila keempat yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, ini hampir sama dengan konsep Ahlul Halli wal Aqdi yang ada di NU. Yaitu perwakilan dari tokoh-tokoh NU yang berpengaruh dan penting di tengah-tengah umat,” jelasnya.
Posting Komentar untuk "Di Balik Penggunaan 'AHWA' dalam Menentukan Pimpinan Tertinggi NU"